Rabu, 04 April 2012

♥ Melayani, Bukan Dilayani ♥


 
"Kalau kamu sudah punya istri, hidupmu akan enak. Ada yang memijit dan melayanimu," demikian kalimat yang diucapkan kawan-kawan saya menjelang saya menikah. Tapi ketika setelah menikah, saya ternyata menjumpai sesuatu yang sangat berbeda. Ternyata yang lebih berhak dipijit dan dilayani adalah istri saya, bukan saya.

Tiap bulan, menjelang menstruasi, istri saya mengalami nyeri sampai membuatnya tidak bisa diajak bicara. Rasa nyeri ini sedikit berkurang kalau saya memijatnya. Ini masih belum seberapa. Saat hamil muda, ia mengalami mual-mual, kadang sampai muntah, selama berminggu-minggu. Rasa mual ini juga sedikit berkurang jika saya memijatnya. 
Saat hamil tua, ia sering sempoyongan sampai tidak sanggup menopang badannya sendiri. Kali ini pun badannya terasa lebih enteng jika saya pijat. Menjelang melahirkan, ia merasa nyeri hebat yang berdenyut-denyut selama seharian yang membuatnya tidak bisa bicara dan beranjak dari tempat tidur. Kali ini pijatan tangan saya bahkan tak sanggup melawan rasa sakit yang ia tanggung. 
Saat ia melahirkan, saya menemaninya di ruang bersalin. Selama berjam-jam, ia mengalami nyeri hebat sampai membuatnya berteriak-teriak padahal sehari-hari dia tidak pernah mengeluh. Di situ saya melihat betapa menjadi perempuan jauh lebih berat daripada menjadi laki-laki. Seberat-beratnya saya bekerja, tidak pernah saya mengalami sakit hebat seperti yang dirasakan oleh perempuan yang melahirkan. 
Perjuangannya sebagai perempuan tak berhenti di ruang bersalin. Setelah anak kami lahir, istri saya setiap hari harus begadang. Dia harus mengurangi jam tidurnya secara drastis. Dalam sehari, ia hanya tidur beberapa jam sebab ia harus terus siaga untuk menyusui bayi yang sewaktu-waktu bangun.
Ketika umur bayi semakin bertambah, ia harus menanggung semua kerepotan urusan domestik yang membuatnya sampai tak bisa sekadar merawat diri.  
Semua kerepotan istri saya itu menyadarkan saya bahwa saya telah keliru. Saya kira kebanyakan orang juga berpikiran seperti saya. Saat menikah, mereka berharap dilayani, bukan melayani. padahal sebetulnya yang lebih berhak dilayani mestinya adalah pasangan kita, bukan kita.
(Ahsan M., di Tangerang)




(Sumber Majalah Intisari Desember 2011)

Tidak ada komentar: